Selasa, 21 Mei 2013

Seluk Beluk Derden Verzet


M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudulHukum Acara Perdata menjelaskan bahwa derden verzet (Perlawanan Pihak Ketiga) merupakan upaya hukum atas penyitaan milik pihak ketiga (hal. 299).
 
Yahya Harahap menjelaskan, dalam praktik, tergugat sering mengajukan keberatan atas penyitaan yang diletakkan terhadap harta kekayaannya dengan dalih, barang yang disita adalah milik pihak ketiga. Dalil dan keberatan itu kebanyakan tidak dihiraukan pengadilan atas alasan, sekiranya barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui upaya derden verzet. Ternyata, meskipun sita telah diletakkan di atasnya, tidak ada muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh karena itu cukup alasan untuk menduga, harta tersebut milik tergugat bukan milik pihak ketiga.
 
Bagaimana halnya jika barang yang disita benar-benar milik pihak ketiga? Mengenai hal ini, Yahya Harahap menjelaskan bahwa pihak ketiga yang bersangkutan yang bersangkutan dapat mengajukan perlawanan dalam bentukderden verzet atau perlawanan pihak ketiga terhadap Conservatoir Beslag yang sering disingkat CB (sita jaminan). Demikian penegasan Putusan MA No. 3089 K/Pdt/1991 yang menjelaskan, sita jaminan (CB) yang diletakkan di atas milik pihak ketiga memberi hak kepada pemiliknya untuk mengajukan derden verzet(ibid, hal. 299-300).
 
Menurut Yahya Harahap, derden verzet atas sita jaminan (CB) dapat diajukan pemilik selama perkara yang dilawan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila perkara yang dilawan sudah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, upaya hukum yang dapat dilakukan pihak ketiga atas penyitaan itu, bukan derden verzet, tetapi gugatan perdata biasa. Demikian dikemukakan dalam Putusan MA No. 996 K/Pdt/1989, bahwa derden verzet yang diajukan atas CB yang diletakkan PN dalam suatu perkara perdata, dapat dibenarkan selama putusan perkara yang dilawan (perkara pokok) belum mempunyai kekuatan hukum tetap serta CB tersebut belum diangkat (hal. 300).
 
Selain itu, dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Agung No. 185/Pdt.Plw/2010/PN.Slmn. Mahkamah Agung (MA) mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 378 Rv dan Pasal 379 Rv,untuk dapat dikabulkannya perlawanan pihak ketiga diperlukan terpenuhinya 2 (dua) unsur, yaitu:
1.    Adanya kepentingan dari pihak ketiga
2.    Secara nyata hak pihak ketiga dirugikan
 
Apakah pihak Pelawan (pihak ketiga yang dirugikan atas sita jaminan) dapat menarik pihak lain menjadi terlawan maupun turut terlawan pada hal diketahui terlawan/turut terlawan dimaksud bukan pihak dalam sengketa awal? Mengenai hal ini, kita dapat menyimak penjelasan Yahya Harahap yangberpendapat bahwa dalam penyelesaian suatu perkara, tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai (party contract) yang digariskan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menegaskan perjanjian hanya mengikat kepada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara, hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara saja (ibid, hal. 299).
 
Dari pernyataan ini sebenarnya kita dapat menyimpulkan bahwa tidak dimungkinkan apabila pelawan (pihak ketiga) yang memiliki keberatan bahwa harta kekayaan miliknya dijadikan sita jaminan oleh terlawan (awalnya tergugat), dapat menarik pihak lain menjadi terlawan maupun turut terlawan yang bukan pihak dalam sengketa awal. Pelawan dalam derden verzet (pihak ketiga) sebenarnya pun merupakan pihak yang tidak ada pada sengketa awal antara penggugat dan tergugat. Namun, yurisprudensi sebagai salah satu dasar hukum di Indonesia (melalui Putusan MA No. 3089 K/Pdt/1991) yang kami jelaskan tadi, memberikan hak kepada pihak ketiga untuk mengajukan derden verzet agar dirinya dinyatakan sebagai pemilik objek yang terkena sita jaminan (CB).
 
Namun, jika pelawan (pihak ketiga) menarik pihak lain, menurut kami tidak akan ada relasinya, baik terhadap perkara pokok maupun sita jaminan yang diupayakan dalam derden verzet. Kalaupun muncul pihak baru yang dianggap membawa kerugian bagi pelawan (pihak ketiga) yang mengajukan derden verzet, maka melihat dari prinsip penyelesaian perkara yang pada dasarnya hanya menyangkut pihak-pihak di dalamnya (Pasal 1340 KUHPerdata), upaya hukum yang dapat dilakukan pelawan (pihak ketiga) terhadap pihak baru yang muncul itu bukanlahderden verzet, tetapi berbentuk gugatan perkara biasa.
 
Masih berkaitan dengan upaya hukum derden verzet, kita juga dapat merujuk pada kasus tanah Meruya yang terdapat dalam artikel Soal Perlawanan Meruya, Buku Pedoman MA Bisa Diabaikan. Di dalam artikel ini diceritakan bahwa pelawan derden verzet adalah sebagian warga yang berdasarkan alas hak selain hak milik atas tanah. Terlawan dalam eksepsinya mengatakan bahwa derden verzethanya dapat diajukan bila barang yang disita itu merupakan miliknya, dalam hal ini hanya pemegang hak milik. Ketentuan ini dapat dilihat dari Pasal 195 (6)Herzien Indlandsch Reglement (“HIR”) yang berbunyi:
“Jika hal menjalankan putusan itu dibantah, dan juga jika yang membantahnya itu orang lain, oleh karena barang yang disita itu diakuinya sebagai miliknya, maka hal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan itu, dihadapkan kepada pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi hal menjalankankan putusan itu, serta diputuskan juga oleh pengadilan itu.”
 
Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa yang melakukan perlawanan adalah warga yang tanahnya tidak semua bersertipikat hak milik. Dari 685 warga, ada setidaknya 277 pihak, yang tanahnya antara lain beralaskan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Perjanjian Sewa Beli, Akta Jual beli, dan Girik C. Lebih lanjut dalamBuku II Mahkamah Agung soal Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (1998), yang juga dikutip pihak Terlawan untuk memperkuat dalil mereka, menyatakan bahwa Perlawanan pihak ketiga terhadap sita (termasuk sita eksekusi) hanya dapat didasarkan atas hak milik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang. Lebih lanjut disebutkan Penyewa, pemegang hipotik atau credietverband, pemegang hak pakai atas tanah, tidak dibenarkan mengajukan perlawanan semacam ini. 
 
Masih dalam artikel yang sama, Juru Bicara MA, Djoko Sarwoko, mengatakan bahwa Buku II Mahkamah Agung tersebut bukan hukum acara, hanya semacam buku pintar agar ada keseragaman. Oleh karena itu, tidak ada sanksi bagi hakim bila mengabaikan Buku Pedoman. Kalau ada legal reasoning (penalaran hukum), boleh saja hakim berpendapat beda. Demikian menurut Djoko Sarwoko seperti dikutip dari artikel Soal Perlawanan Meruya, Buku Pedoman MA Bisa Diabaikan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
3.    Reglement of de Rechtsvordering
 
Putusan:
2.    Putusan MA No. 3089 K/Pdt/1991
3.    Putusan Mahkamah Agung No. 996 K/Pdt/1989
 
Referensi:
M. Yahya Harahap, S.H. 2009. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar