Selasa, 28 Mei 2013

Pegawai Negeri Menjadi Pengurus Perusahaan

Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) selain berlaku UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU Pokok-Pokok Kepegawaian”), juga berlaku peraturan mengenai disiplin PNS (Pasal 29 UU Pokok-Pokok Kepegawaian). Peraturan disiplin bagi PNS ini diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri (“PP 53/2010”).

Sebelum diberlakukannya PP 53/2010, peraturan disiplin bagi pegawai negeri diatur dengan PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 30/1980”). Dalam kedua peraturan disiplin tersebut terdapat perbedaan sebagai berikut:

Larangan bagi PNS dalam PP 30/1980
Larangan bagi PNS dalam PP 53/2010
Pasal 3

(1) Setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang:
a.      melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;
b.      menyalahgunakan wewenangnya;
c.       tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;
d.      menyalahgunakan barang-barang, uang, atau surat-surat berharga milik Negara;
e.      memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah;
f.        melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara;
g.      melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun diluar lingkungan kerjanya;
h.      menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat di duga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
i.         memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;
j.        bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
k.       melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
l.         menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
m.     membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
n.      bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;
o.      memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
p.      memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatannya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
q.      melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a keatas atau yang memangku jabatan eselon I.
r.        melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.

(2)    Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah yang akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf q,wajib mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang.

Pasal 4

Setiap PNS dilarang:
1.      menyalahgunakan wewenang;
2.      menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain;
3.     tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional;
4.     bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing;
5.      memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
6.      melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
7.      memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan;
8.      menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;
9.      bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
a.      ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b.      menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
c.       sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d.      sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a.      membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b.      mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan
15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
a.      terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b.      menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
c.       membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d.      mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.


Dalam PP 30/1980 jelas dilarang bagi PNS untuk memiliki saham suatu perusahaan ataupun menjabat sebagai Direksi atau Dewan Komisaris. Namun, terkait larangan menjadi Direksi atau Dewan Komisaris ini dapat dikecualikan bagi PNS yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah yang mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam PP 53/2010 yang melarang PNS bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional tanpa izin Pemerintah. Dalam PP 53/2010 ini PNS juga dilarang bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing.

Sejak diberlakukannya PP 53/2010, PP 30/1980 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga, yang berlaku adalah ketentuan Disiplin Pegawai Negeri dalam PP 53/2010 yang di dalamnya tidak ada larangan secara tegas bagi PNS yang ingin memiliki saham atau menjadi Direksi/Dewan Komisaris suatu perusahaan.

Sementara itu, menurut Irma Devita Purnamasari dalam artikel Lagi, Ketentuan Apakah PNS Bisa Menjadi pengusaha? di irmadevita.com, kemungkinannya PNS boleh saja bila ingin menjadi pengusaha, namun tetap harus dengan seizin atasan. Hal ini karena dalam Sistem Administrasi Badan Hukum/SABH (sebagai proses permohonan untuk pengesahan badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM RI) untuk memasukkan nama pemegang saham atau direksi yang pegawai negeri harus memakai surat izin dari atasannya. Kemudian, dalam artikel Apakah Polri dan TNI Boleh Menjadi Pengusaha? (lanjutan) Irma menulis antara lain bahwa di dalam pengajuan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) masih mensyaratkan suami/istri PNS/POLRI/TNI wajib melampirkan surat keterangan dari atasan langsung. Persyaratan ini berlaku untuk pengajuan pendirian PT, Koperasi, Perusahaan Persekutuan maupun Perusahaan Perorangan. Begitu juga untuk perusahaan pemegang SIUP yang akan membuka kantor cabang/kantor perwakilan dan perusahaan yang dibebaskan dari kepemilikan SIUP.

Jadi, PNS boleh saja memiliki saham pada suatu PT maupun menjadi Direksi/Dewan Komisaris sepanjang telah mendapatkan izin dari atasannya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Minggu, 26 Mei 2013

WNA dan Hak Milik Atas Sarusun

Asas yang dianut oleh Indonesia, yakni yang dikenal sebagai asas “Larangan Pengasingan Tanah”. Irma Devita Purnamasari dalam bukunya yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asas “Larangan Pengasingan Tanah” adalah tanah-tanah di Indonesia hanya dapat dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia atau orang perserorangan Indonesia. Jika mengacu pada asas tersebut, tentu saja orang asing tidak bisa memiliki tanah di Indonesia (hal. 41). Namun, apakah orang asing mutlak tidak dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia?
 
Untuk menjawab ini kita perlu mengacu pada sejumlah peraturan yang mengatur tentang kepemilikan hak atas tanah oleh WNA. Berikut akan kami jelaskan mengenai peraturan-peraturan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan Anda mengenai dapatkah WNA mempunyai hak milik atas satuan rumah susun.
 
Pengaturan kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (“HMSRS”) memiliki keterkaitan dengan adanya sertifikat hak milik satuan rumah susun (“SHM sarusun”). Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu mengetahui terlebih dahulu yang dimaksud dengan SHM sarusun. Mengenai definisi SHM sarusun dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU Rumah Susun”) yang berbunyi:
 
Sertifikat hak milik sarusun yang selanjutnya disebut SHM sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.”
 
Kepemilikan WNA terhadap hak milik atas satuan rumah susun itu merujuk pada ketentuan hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”’). Berdasarkan undang-undang tersebut, WNA hanya diperbolehkan memiliki hak pakai.
 
Adapun definisi hak pakai terdapat dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
 
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsungoleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalamkeputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian denganpemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segalasesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
 
Oleh karena itu, WNA yang mau memiliki HMSRS harus cermat sebelum membeli unit rumah susun. Ia harus mengetahui apakah bangunan rumah susun yang hendak ia miliki itu berdiri di atas tanah yang berstatus hak pakai atau tidak.
 
Hal ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 42 UUPA yang hanya membolehkan WNA untuk memiliki hak pakai. Bunyi selengkapnya pasal tersebut adalah:
“Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
a.    warga-negara Indonesia;
b.    orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.    badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.    badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.”
 
Menurut Pasal 17 UU Rumah Susun, rumah susun dapat dibangun di atas tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Negara, dan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan.
 
Pengaturan mengenai WNA hanya boleh memiliki HMSRS yang bangunan rumah susun itu dibangun di atas tanah dengan hak pakai atas tanah negara juga dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia (“PP 41/1996”)Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam artikel Apartemen untuk Orang Asing, WNA dapat memiliki HMSRS dengan mengacu pada ketentuan Pasal 2 PP No. 41/1996yang berbunyi:
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
1.    Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah:
a. Hak Pakai atas tanah Negara;
b. Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah.
2.    Satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara.
Selain persyaratan tersebut, terdapat satu persyaratan lagi yang diatur oleh peraturan turunan PP No. 41/1996, yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (“Peraturan MNA/BPN 7/1996”).
 
Pasal 2 ayat (2) Peraturan MNA/BPN 7/1996 berbunyi:
Rumah yang dapat dibangun atau dibeli dan satuan rumah susun yang dapat dibeli oleh orang asing dengan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah rumah atau satuan rumah susun yang tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana atau rumah sangat sederhana.
 
Kriteria rumah sederhana (RS) atau rumah sangat sederhana (RSS) menurut Pasal 1 huruf d Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 15 Tahun 1997 antara lain:
a.    harga perolehan tanah dan rumah tidak lebih dari pada Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah),
b.    luas tanah tidak lebih dari pada 200 M2, di daerah perkotaan dan tidak lebih daripada 400 M2, untuk di luar daerah perkotaan.
 
Dari penjelasan kami di atas dapat disimpulkan bahwa WNA dapat memiliki hak atas satuan rumah susun (HMSRS) hanya apabila tanah tempat bangunan rumah susun itu berdiri berstatus sebagai hak pakai atas tanah negara sebagaimana yang diatur dalam PP 41/1996. Syarat lain yang juga perlu diperhatikan oleh WNA sebelum memiliki HMSRS adalah bahwa kriteria satuan rumah susun yang dapat dibeli WNA adalah tidak termasuk klasifikasi yang terdapat dalam Peraturan MNA/BPN 7/1996 seperti yang telah kami uraikan di atas.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
4.    Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
5.    Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) Dan Rumah Sederhana (RS)
 
Referensi:
Irma Devita Purnamasari. 2010. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan. PT Mizan Pustaka: Bandung.

Selasa, 21 Mei 2013

Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi (Partij Verzet)


Dalam hukum acara perdata, berdasarkan penelusuran kami, istilah partij verzetseringkali dikaitkan dengan upaya hukum perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi. Hal mana antara lain disebutkan D.Y. Witanto, SH dalam tulisannya yang berjudul Parate Eksekusi vs Eksekusi Grosse Akta dalam Lembaga Jaminan Hak Tanggungan yang dimuat dalam laman resmi Pengadilan Negeri Blambangan Umpu, Provinsi Lampung (http://www.pn-blambanganumpu.go.id). Dalam artikel tersebut Witanto menjelaskan antara lain bahwa perlawanan terhadap sita eksekusi (partij verzet) diatur dalam Pasal 207 Herzien Indlandsch Reglement  ("HIR") dan Pasal 225 Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”).
 
Mengenai perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi dijelaskan lebih jauh dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku IIyang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (hal. 144-145). Di dalam buku tersebut dijelaskan sebagai berikut:
-      Perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi barang bergerak dan barang yang tidak bergerak diatur dalam pasal 207 HIR atau pasal 225 Rbg.
-      Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi. Pasal 207 (3) HIR atau 227 RBg. Namun, eksekusi harus ditangguhkan, apabila segera nampak bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, paling tidak sampai dijatuhkannya putusan oleh Pengadilan Negeri.
-      Terhadap putusan dalam perkara ini, permohonan banding diperkenankan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.    Rechtsreglement Buitengewesten Staatsblad No. 227 Tahun 1927

Perlunya Perjanjian Dibuat Secara Tertulis


suatu persetujuan sudah cukup membuktikan bahwa telah terjadi hubungan keperdataan, dimana suatu perikatan telah timbul yang diakibatkan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling)antara satu orang atau lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 dan Pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang menyatakan:
 
Pasal 1313
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
 
Pasal 1313
Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan.Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
 
 
Selanjutnya, dapat dipahami bahwa suatu persetujuan sudah dapat membuktikan adanya kewajiban dan hak (akibat hukum) yang ditimbul dari pihak-pihak yang bersepakat.
 
Perjanjian sebaiknya tertulis
Apakah suatu perjanjian harus dilakukan secara tertulis? Pada dasarnya, perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis, kecuali diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya:
1.    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dibuat secara tertulis, sesuai denganPasal 57 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagaimana diatur pada Pasal tersebut, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang tidak dibuat secara tertulis akan memiliki akibat hukum yaitu berubahnya status Perjanjian menjadi Perjanjian Waktu Tidak Tertentu; dan
2.    Perjanjian lain yang memerlukan Perjanjian yang dibuat secara tertulis adalah Perjanjian atas pemindahan hak atas saham yang dilakukan dengan akta pemindahan hak, sesuai Pasal 56 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
 
Perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat para pihak, dan tidak menghilangkan, baik hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat. Namun, untuk kemudahan pembuktian, acuan bekerja sama dan melaksanakan transaksi, sebaiknya dibuat secara tertulis. Hal ini juga dimaksudkan, agar apabila terdapat perbedaan pendapat dapat kembali mengacu kepada perjanjian yang telah disepakati.
 
Perlu dipahami bahwa suatu persetujuan wajib dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang melakukannya, dan karenanya sifat mengikat dari persetujuan tersebut adalah pasti dan wajib. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdan Pasal 1339 KUHPer, yang menyatakan:
 
Pasal 1338
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
 
Pasal 1339
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
 
Upaya Hukum meminta ganti rugi
Selanjutnya, mengenai kelalaian yang dilakukan oleh salah satu pihak maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan cidera janji (Wanprestasi) ataupun Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Berikut kami sampaikan sekilas perbedaannya:
 
Cidera janji (Wanprestasi), merupakan suatu keadaan tidak terlaksananya suatu perjanjian dikarenakan kesalahan/kelalaian para pihak atau salah satu pihak. Bentuk Cidera janji (Wanprestasi) berupa:
a). Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukan;
b). Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi tidak sempurna;
c). Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi tidak tepat waktu; dan
d). Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
 
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), merupakan setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1365 KUHPer.
 
Melawan hukum secara sempit dapat diartikan sebagai melanggar hukum atau undang-undang. Namun, pengertian tersebut telah lebih dinamis. Hal mana pelanggaran terhadap norma kepatutan, keadilan atau kebiasaan di masyarakat juga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, sepanjang perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Oleh karena itu perbuatan tersebut haruslah berupa kerugian yang ditimbulkan karena disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum, yang antara lain:
·         Melanggar hak orang lain;
·         Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
·         Bertentangan dengan kesusilaan; dan
·         Bertentangan dengan kepentingan umum.
·         Kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung;
·         Kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat.
·         Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian)
 
Selain hal-hal di atas, suatu perbuatan melawan hukum dapat tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. Sebagaimana KUHPer menentukan bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
 
Oleh karenanya, Saudara perlu lebih berhati-hati dalam menerima barang yang diberikan oleh pihak distributor. Yang kami maksudkan berhati-hati disini adalah Saudara wajib untuk memeriksa barang kiriman tersebut, dan dalam hal pada saat pemeriksaan ditemukan barang yang cacat atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan pada awal kesepakatan maka Saudara berhak untuk menolak barang dimaksud.
 
Namun, apabila Saudara tidak melakukan penolakan atas barang yang cacat tersebut maka dapat dikatakan Saudara telah menyetujui pembelian barang tersebut (persetujuan diam-diam). Sehingga, menjadi sulit bagi Saudara untuk meminta ganti rugi atas kesalahan pengiriman barang.
 
Apabila Saudara mendapati barang yang dikirim tidak sesuai pesanan, maka Saudara dapat menolaknya dan menuntut atas dasar terjadinya wanprestasi. Mengingat barang yang diberikan tidak sesuai dengan yang dipesan.
 
Selain dari pada itu, Saudara dapat juga memberikan surat teguran ataupun surat tertulis yang menyatakan bahwa barang tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan dan meminta:
 
a). Pemenuhan atas prestasi oleh distributor;
b). Pemenuhan atas prestasi dan ganti rugi oleh distributor; dan
c). Ditributor membayar ganti rugi; ataupun
d). Melakukan pembatalan atas kerjasama yang telah terjalin.
 
Namun, apabila Saudara menerima barang yang tidak sesuai pesanan tersebut, maka sejatinya itu merupakan kesepakatan baru antara Saudara dengan Distributor. Mengingat, barang yang anda terima bukanlah barang yang dipesan, sehingga kami sarankan untuk menegosiasikan harganya kembali jika Saudara hendak menerima barang tersebut. Umumnya, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan waktu yang mendesak atas keperluan barang tersebut, sekalipun spesifikasinya tidak sesuai dengan kebutuhan awal.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih.
 
Catatan editor: Baris pertama paragraf keempat artikel jawaban ini telah disempurnakan pada 30 April 2013. Daftar dasar hukum artikel jawaban ini juga telah disesuaikan.
 
Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesieatau BW, Staatsblad 1847 No. 23).